CERITA DEWASA PENARI JALANAN SINTAL MENJUAL DIRI

CERITA DEWASA PENARI JALANAN SINTAL MENJUAL DIRI


CERITA DEWASA PENARI JALANAN SINTAL MENJUAL DIRI, Hasrat-Bispak47 Seluruhnya orang didalamnya perlu bertarung serta berkorban agar tidak tersisih, serta tidak seluruhnya jalan yang dapat dilintasi itu terang-benderang…Izinkan saya ceritakan kejadian hidup saya. Nama saya Darmini, namun orang gak banyak yang mengenali nama asli saya. Bapak dan Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa buat anak wanita di daerah saya, tetapi maknanya tidak sekedar itu. Denok pula memiliki arti montok alias sintal, serta ternyata makna itu yang lebih dikenang banyak orang-orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Zaman kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak satu-satunya Bapak dan Simbok, satu keluarga petani penggarap yang tidak berpunya. Sejak mulai kecil saya diajari menari oleh Simbok, lantaran beliau sendiri waktu muda ialah orang penari, serta masih ditanggap bila ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti waktu satu hari saya dan Simbok temui Bapak menggantung diri. Nyatanya Bapak mempunyai banyak hutang karena sebab hilang ingatan judi, serta beliau tak bisa membayar hutangnya itu. Kami terang sendu sebab Bapak telah tak ada, dan juga kebingungan karena sekian hari seusai Bapak disemayamkan, kami ditendang dari rumah karena rumah kami diambil agen judi yang memberinya hutang pada Bapak. Kami tidak miliki tujuan, dan uang simpanan kami tidak berapa. Simbok pada akhirnya ngotot membawa saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan.


"Denok, kita tidak dapat apapun kembali di sini, di kota kita dapat coba mencari uang, moga-moga di situ mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya hanya alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama gak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, gak diterima lantaran dirasa pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang gak penting ijazah, lawan banyak. Pada akhirnya sehabis cukuplah lama menyimak pelbagai peluang yang ada, Simbok menentukan untuk manfaatkan ketrampilan kami. Hanya modal busana dan peralatan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa dan kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awalilah kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota sedang persiapan ujian akhir SMA atau menjalankan tahun mula kuliah, dan yang di dusun tunggu dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai menjalani kehidupan baru, menjual keterampilan seni tari bersama Simbok. Awalannya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, sekedar cari keramaian di mana kami dapat mendapatkan beberapa lembar rupiah untuk bertahan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mendalami jalanan Ibu-kota buat cari beberapa orang yang pengin kami hibur dengan tarian kami. Rupanya gak enteng pula cari uang melalui cara seperti berikut, paling-paling yang kami temukan cukup hanya untuk makan kami berdua, satu atau kedua kalinya di hari itu. Dan gak di semuanya tempat kami dapat mendapatkan pemirsa yang mau bayar, kadang kami jadi ditendang atau dihardik. Sehabis cukuplah lama, kami berjumpa tempat di mana kami dapat selalu bisa pemirsa dan uang: satu pasar induk yang lumayan besar, dan lingkungan disekitarnya. Kami juga sewa satu kamar sewa murah di dekat Pasar. Banyak orang-orang di Pasar, yang datang dari kelompok menengah ke bawah, haus selingan murah yang dapat membuat mereka ingat daerah semasing. Datangnya kami di situ selalu disongsong senyuman, tawa, serta helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Meskipun kerapkali helai-lembar itu dikasihkan ke kami kurang santun misalkan dengan disembunyikan ke busana kami. Apa saya dan Simbok memanglah menarik? Tidak tahu ya. Saya sendiri tidak berasa elok. Menjadi anak petani yang kerap main di luar sejak mulai kecil, kulit saya jadi cukup gelap terbakar matahari. Tetapi Simbok pun dari dahulu terus membimbing serta memperingatkan saya untuk menjaga badan meskipun dengan secara simple, jadi walau sawo masak, kulit saya terus mulus serta tak jerawatan apa lagi bopeng-bopeng lho. WAJIB 4D


Oh iya, barusan kan saya telah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Ditimbang-timbang betul pula sich bila disebut saya montok. Tidak tahu mengapa, meski rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepres, kok tetap tubuh saya dapat saja ya. Saat sebelum remaja saja tetek saya telah tumbuh, serta saat ini jadi subur gumebyur sampai saya terus was-was dengan kemben saya setiap kali menari. Pantat saya pula cepat karena sebab dibikin latihan olah badan dalam tarian. Ada yang katakan bahenol, saya sich matur nuwun saja bila ada yang menganggapnya demikian. Terherannya, meski atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut serta pinggang saya masih singset. Saya menganggapnya masih singset masalahnya sepertinya kelak tubuh saya akan menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, bila Simbok itu benar-benar elok. Hingga usia begitu juga beliau terus elok. cerpensex.com Apa lagi bila sudah gunakan sanggul dan dandan, wuihh. Seluruh orang nengok serta gak tonton apapun kembali. Saya sendiri selalu terasa buruk lho kalaupun tampil bersama Simbok. Ah, namun sedunia hanya saya sendiri yang nganggap muka saya tidak baik. Disamping Simbok, beberapa orang yang umum tonton kami menari kok seluruhnya katakan saya elok. Saya pikirkan, ini sich pinter-pinternya Simbok menghias saya saja. Waktu kali pertama didandani buat ngamen, saya protes, kok sibuk benar-benar. Rambut perlu disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk serta kembang. Muka perlu dibedaki tebal-tebal, hingga berbeda warna dengan tubuh. Barangkali tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang tidak ketutupan. Alis saya yang udah tebal dibuat lebih tebal. Bibir pula diberikan gincu warna merah oke. Saya kala itu ngeluh,


"Kok telah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu gak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita perlu buat suka yang lihat."


Lama-kelamaan saya biasa pula pakai dandanan semacam itu, justru saya buat jadi guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis setiap hari tercipta penganten, bentar kalaupun nikah betulan harus seperti apakah diriasnya?" Dandan muka yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, sesuai sama kemben, kain batik, dan selendang. 


Tetapi memanglah yang bernama nasib itu jalannya tidak ada yang mengetahui. 2 bulan kami berada di dekat Pasar, bencana tiba kembali. Waktu lagi nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cidera kritis. Saya was-was, beberapa orang di seputar beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Namun Simbok tidak terselamatkan. Simbok wafat di rumah sakit seusai 2 hari dua malam usaha ditolong dokter di situ. Sebetulnya sejak mulai ketabrak  Simbok telah tak ada asa, tetapi tidak tahu mengapa beliau lama sekali wafatnya. Sekaratnya hingga sepanjang hari. Hingga sampai gak sampai hati saya memandangnya. Saat itu ada yang bisik-bisik, kemungkinan Simbok pasang susuk, maka dari itu kematiannya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara begitu. Tetapi apa itu betul atau gak, saya tak ingin tahu, biarkan itu dapat menjadi rahasia Simbok. Saya pada akhirnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis untuk mbayar rumah sakit serta penyemayaman, malahan harus berutang kemanapun. Saya tidak bisa melangsungkan acara beberapa macam buat Simbok, cuma dapat doakan sendiri mudah-mudahan sukma Simbok dapat tenang di alam sana dan bertemu kembali dengan Bapak. 1 minggu lebih saya di sewa saja karena begitu berduka. Barangkali setiap hari saya menangis, sendu ingat Simbok, pula kesepian. Selanjutnya saya memaksakan diri untuk keluar kembali, ngamen kembali, lantaran uang telah habis serta saya  perlu lawan banyak tukang tagih hutang yang tak ingin tahu kesusahan saya . Sehingga, satu minggu selepas Simbok dikebumikan, saya kembali bersiap buat keluar, menari. Di depan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul serta kembang, saya bedaki muka saya supaya gak terlihat sejumlah bekas menangis, saya gunakan kembali kemben serta kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, cocok keluar kamar saya malahan bertemu dengan ibu yang mempunyai sewa. Sang ibu tidak gunakan basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya gak mempunyai uang, jadi saya cuman dapat katakan maaf, serta sang ibu jadi ngancam secara lembut. Tidak apapun tidak bayar, tuturnya, namun esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok gak habis-habis ya hambatan untuk saya. Saya pengin usaha dahulu, kata saya, kelak akan saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.


CERITA DEWASA PENARI JALANAN SINTAL MENJUAL DIRI


Apesnya, hari itu pasar rada sepi, dan sehabis dua jam saya baru bisa Rp5000 setelah menari di pangkalan ojek. Saya tidak dapat fokus, kepala dipenuhi dengan pemikiran, bagaimana langkahnya agar kelak jika pulang telah mempunyai cukup uang buat bayar sewa. Belum hutang-hutang yang lain. Saat siang, saya tengah jalan di barisan beberapa toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya lihat Juragan sedang mengalkulasi segepok uang. Beliau barusan terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya kala itu cuman tahu beliau menjadi ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau udah tua, lebih tua dibanding Simbok, kemungkinan umurnya udah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis serta jenggotnya jarang. Tubuhnya besar serta perutnya gemuk. Sekali 2x saya dan Simbok pernah menari di muka tokonya, serta pegawai-pegawainya berikan kami uang tetapi beliau tidak. Tetapi beliau pernah pinjamkan uang pada Simbok, serta Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri hampiri Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot dalam serta ada di belakang. Tokonya lagi sepi, tak ada konsumen.


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan memandang saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya tidak kuat bilangnya. Namun saya harus katakan. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya udah habis buat cost penguburan Simbok… saat ini saya perlu bayar sewaan dua bulan…"


"Hah?" Juragan lihat saya dengan aneh, "Kamu penting uang?"


"Tolong, Juragan," saya mengharap kembali, "Saya udah ditagih, ini hari mesti ada, atau saya ditendang. Saya janji akan balikkan secepat-cepatnya."


Eh, kok Juragan langsung menyimpan segepok uang tadi ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang memberikan hutang. Kamu perlu uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja." WAJIB 4D


"Saya saat ini pula kembali kerja, Juragan," saya dongkol tetapi tidak berani menunjukkan; nampaknya Juragan tidak pingin pinjamkan uang. "Hanya ngerinya saya tidak dapat cukup dapat uang ini hari untuk bayar sewa. Jika berjualan, saya nggak miliki apapun, perlu jual apa?"


Namun selanjutnya tatapan Juragan kok beralih jadi aneh… Beliau dekati saya serta memeluk saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang omong kamu gak miliki apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya pengen kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga pipi saya menempel dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan terus terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya memikirkan apa tujuannya itu.


"Kalaupun kamu pengen, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar buat bulan depannya," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya harus bagaimana? Saya penting uang, tetapi apa harus lewat cara sebagai berikut? Namun kalaupun gak, bagaimana kembali? Yang ada saya akan ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama dengan. Saya tidak mempunyai alternatif lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali sampai tidak terdengaran. Kalaupun saja gak ketutupan bedak, barangkali telah tampak muka saya berbeda merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga terbuncang-guncang. "Bagus, Denok. Mari turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan nyatanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan tidak mempunyai istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya selalu melihati lantai, tidak berani mengangkut kepala, namun terkadang saya ngintip ke sana-kemari menyaksikan kondisi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada poto tua yang memperlihatkan Juragan dengan orang wanita—istrinya kah? Juragan menggamit tangan saya masuk ke satu kamar. Ruangan tidurnya. Ia suruh saya duduk di tempat tidur. Saya duduk, sekalian tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, mencermati sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sembari ngomong,


"Denok, angkat kepalamu, saksikan saya." Saya nurut. Barangkali ia tonton mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," tukasnya.


Ia simpan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, menyaksikan uang itu. Besar sekali untuk saya. Kebanyakan sepanjang hari menari saya tak sempat mendapat uang sejumlah itu. Namun saya selalu ragu-ragu. Juragan mendadak pengen ambil kembali uang itu.


"Jika tidak ingin ya udah," ucapnya dengan suara kurang puas.


Tetapi saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Sesuai tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, serta saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum lihat saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Membuat orang gairah ajah…" saya saksikan Juragan nyengir lebar sehabis bicara itu. sumpah, baru kesempatan ini ada lelaki jujur ngaku semacam itu.


Helai uang lima puluh ribu tadi disimpan Juragan di sisi saya ia mengambil, lipat, lalu ia sisipkan ke… aduh! Ia berikan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," ucapnya. Duh, gak yakin rasanya. Awal kalinya saya serta Simbok harus menari sepanjang hari, hingga pegal-pegal, buat dapat duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya dapat duit sekitar itu … kok mudah sekali?


"Betulan buat saya…?" Masih tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka segalanya," kata Juragan sekalian menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa artinya itu? Apa Juragan sukai dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang katakan itu ke saya… Jantung saya deg-degan dengarnya. Juragan menarik kain kemben masih ditahan tangan saya, dan kainnya melesat demikian saja tanpa saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya dapat peroleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan mohon saya membuka  kain batik coklat yang saya gunakan.


Barangkali karena barusan saya malu serta pelan satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya dan menyibak kain batik saya. Saya tiba-tiba mundur, tetapi tangan Juragan lalu menggenggam bahu saya.


"Gak boleh takut, Denok…" ucapnya.


Juragan  menggenggam paha saya yang beberapa tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Suara "Eihh" keluar mulut saya, malu lantaran sentuhan Juragan. Tangannya selanjutnya nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersinggungan dengan kulit paha saya, serta saya semakin deg-degan. Ia terus remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar nada beberapa macam dari mulut saya. Tangan satunya terus nyibak kain saya, hingga ke dekat pinggang… Duh, biyung, lagi diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, sampai paha saya udah dikeluarkan dari buntelnya, sedikit kembali kancut saya terlihat!


"Tiduran saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya terus nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang masih belum saya lepas (apa harusnya saya lepas ?) ngganjal belakang kepala saya. Serta sekalian saya rebah itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya untuk pekerjaan: satu membentang di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya sangsi, namun gak tahu mengapa, saya pula kok rasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok seperti ini jadi? Juragan tiada henti menyaksikan sekujur badan saya, sekalian memberikan pujian.


"Marilah donk, gak perlu tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, jika kamu ingin kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan ditempatkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya gak ada yang tutupi. Saat ini kancut saya nampak.


"Euh… Juragan… pengen pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama